Merekabertanya, “Ya Rasulullah bagaimana dengan saudara ipar?” Rasulullah menjawab, “Saudara ipar adalah kematian.” (HR. Ahmad). Oleh karena itu, penting bagi kaum Muslimah dan para ipar dari istri adik laki-laki atau pun kakak laki-lakinya agar interaksi dengan saudara ipar berjalan sesuai dengan tuntunan sunnah. KemudianNabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah bapak ibumu masih hidup ?” orang itu menjawab, “Ya” maka kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Hendaklah kamu berbakti kepada keduanya” [Hadits Riwayat Bukhari, Muslim 5/2529 Abu Dawud 2529, Nasa'i, Ahmad 2/165, 188, 193, 197 dan 221] Mengenai adab dan akhlak Banyakcara yang bisa dilakukan seorang muslim untuk memuliakan tetangganya. Berikut di antaranya: 1. Saling berbagi Rezeki kepada tetangga. Saling berbagi rezeki kepada tetangga merupakan adab yang baik, bahkan Rasulullah SAW juga menganjurkan kepada ummatnya untuk tidak kikir dan saling berbagi walau hanya dengan makanan yang sedikit. Iamengeluarkan semua barang di rumahnya dan meletakkannya di tengah jalan. Tentu saja banyak orang yang berkumpul ingin mengetahui apa yang terjadi. Mereka bertanya, “Apa yang terjadi pada dirimu?” Ia menjawab, “Aku memiliki seorang tetangga yang selalu menggangguku.” Maka, orang-orang pun melaknati si tetangga usil itu. Adabadab Dengan Guru Ketika Belajar. 1. Memberi salam Orang itu menjawab: “Saya hendak ke tempat seorang saudaraku di desa ini.” Malaikat bertanya lagi: “Adakah suatu kenikmatan yang hendak kau peroleh dari saudaramu itu?” Ia menjawab: “Tidak, hanya saja saya mencintainya kerana Allah.” Malaikat lalu berkata: “Sesungguhnya huS6T. Adab para Kiai dalam menjawab itu diantaranya, pertama para kiai akan mengaku tidak tahu kalau tidak mengetahui jawabannya. Kedua, kalaupun mereka tahu, mereka akan menunggu orang lain untuk terlebih dahulu menjawab atau meminta kepada penanya untuk bertanya kepada orang lain yang lebih mengetahui jawabannya. Terakhir, baru mereka akan menjawab. Saya lama antri di rumah KH Abdurrahman Wahid Gus Dur sekitar tahun 1998. Sewaktu dapat giliran bertanya, saya tanyakan kepada Gus Dur mengenai sejumlah fatwa NU. Beliau menjawab singkat “Tanyakan saja hal tersebut kepada Said Aqil Siradj.” Sebagai santri, saya paham dan kemudian mundur ke belakang. Lantas datang Nusron Wahid yang bertanya kepada Gus Dur tentang suatu peristiwa di tanah air, Gus Dur menjawab “Saya gak tahu. Jangan tanya saya soal itu.” Luar biasa, bukan? Masih pada tahun yang sama, saya kemudian menuju Rembang dan sowan kepada KH A Mustofa Bisri Gus Mus dan menanyakan soal keputusan Munas Lampung mengenai manhaj NU dalam berfatwa. Sebelum menjawab, Gus Mus bertanya kepada saya “Sudah ke rumahnya Kiai Cholil Bisri? Itu rumahnya di depan, nanti tanya juga kepada beliau”. Indah, bukan? Begitulah adab para Kiai dalam memberi jawaban. Tidak merasa paling tahu, apalagi merasa jawaban yang diberikan adalah satu-satunya kebenaran. Bagaimana dengan adab kita selaku penanya? Pertama, kita pahami dulu bahwa kita mengajukan pertanyaan baik tatap muka langsung atau lewat media sosial itu sudah mengambil waktu mereka. Beruntunglah kalau mereka mau menjawab. Kalau karena satu dan lain hal mereka tidak berkenan menjawab, masak kita mau memaksa? Tetap jaga akhlak kita. Kedua, kita bertanya kepada mereka itu karena kita percaya dengan otoritas mereka. Jadi, jangan kemudian bersikap kita lebih tahu atau mau mengajak berdebat dengan tanya dalil macam-macam. Kalau memang tidak percaya dengan otoritas keilmuan mereka, ya kenapa bertanya kepada mereka? Tanya orang lain saja. Meminta jawaban lengkap dan panjang lebar itu artinya semakin menyita waktu mereka. Padahal ini gratis. Gratis saja kok memaksa minta jawaban lengkap dengan rujukan macem-macem. Memangnya buat makalah untuk seminar? smile emoticon Jadi, kalau diberi jawaban ya syukuri saja. Meski jawabannya pendek. Kalau tidak dijawab, ya tetap jaga akhlak kita, jangan malah ngomel-ngomel dengan menuduh mereka menyembunyikan ilmu. Kalau gak cocok dengan jawabannya, ya silahkan cari second opinion. Ingat, mereka yang kita tanya itu tidak punya kewajiban menjawab pertanyaan kita. Jawaban mereka itu seperti sodaqah dari mereka untuk kita. Kita faqir, mereka alim. Kita tidak tahu, mereka lebih tahu. Kalau mereka mau men-sodaqahkan apa yang mereka tahu, itu pahala buat mereka. Tapi mereka tidak wajib ber-sodaqoh ilmu mereka kepada kita. Saya melihat di media sosial saat ini adab bertanya dan adab menjawab sudah mulai ditinggalkan. Yang menjawab tidak lagi dengan ilmu, dan yang bertanya tidak lagi bertanya dengan akhlak. Yang menjawab merasa jawabannya paling benar, dan yang bertanya tidak percaya dengan otoritas keilmuan yang menjawab, malah ngeyel atau melecehkan jawaban yang diberikan. Yang menjawab, selalu merasa paham semua persoalan sehingga dijawab sendiri semua pertanyaan, dan yang bertanya terus memaksa seakan-akan pertanyaannya harus dijawab. Yang menjawab sering menganggap yang bertanya itu bodoh, dan yang bertanya sering bermaksud menguji sampai dimana pertanyaannya bisa dijawab. Mari kita belajar kembali adab dalam melakukan tanya-jawab. Media sosial ini cuma alat, tool atau cara kita berkomunikasi. Dari semula face-to-face, sekarang hanya screen-to-screen. Jadi, alat komunikasinya saja yang berubah, namun akhlak harus tetap kita jaga. HP boleh semakin “modern”, tapi tata krama kita tetap harus “tradisional”. Jangan sampai alat komunikasi yang kita pakai semakin canggih, namun sikap dan perilaku kita malah semakin gak karuan. Mari yuk…sama-sama kita belajar terus untuk berkomunikasi yang baik di media sosial. Semoga Allah merahmati mereka yang bertanya dan mereka yang menjawab, dengan niat untuk sama-sama mencari keridhaan Allah. Amin Ya Allah Tabik, Nadirsyah Hosen Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School. Juga sebagai Wakil Ketua Dewan Pengasuh Pesantren Takhasus IIQ Jakarta. Agama Islam adalah agama yang penuh adab dan akhlak. Salah satu yang diatur adalah adab bertanya kepada guru. Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan 1. Tidak terburu-buru menagih jawaban Contoh ketika SMS/WA “Ustadz, tolong jelaskan hukum shalat ini beserta dalilnya dan rinciannya, kalau bisa cepat dibalas ustadz, ini sedang membuat bantahan” Mungkin jawabannya “Silahkan buka buku sifat shalat” Perlu dipahami bahwa guru kita juga banyak urusan dan bisa jadi terbatas ilmu dan waktu. Agar mendapat ilmu yang berkah tidak boleh tergesa-gesa dan harus beradab dengan guru.[1] 2. Tidak bertanya yang bisa “mengadu domba” Contohnya di suatu majelis ilmu sesi tanya jawab, Fulan Ustadz, apa hukumnya ini? Ustadz Hukumnya mubah Fulan Tapi ustadz A berpendapat haram ustadz ! Ini bukan adab yang baik dan bisa membenturkan pendapat ustadz tersebut karena mereka sezaman dan selevel. Berbeda halnya jika ia membawa dalil berupa hadits atau perkataan ulama berbeda zaman, ini tidaklah mengapa 3. Tidak terlalu banyak bertanya yang tidak perlu dan fakta itu belum terjadi contoh Fulan Kalau di bulan arah kiblatnya ke mana? Apa hukum makan daging dinosaurus? Mungkin jawabannya Tolong SMS saya kalau kamu sudah di bulan ya. Terlalu banyak bertanya seperti ini adalah sebab kehancuran umat terdahulu sebagaimana dalam hadits [2] Semisal pertanyaan Bani Israil mengenai sapi apa yang harus disembelih sebagai qurban, mereka banyak bertanya ciri-cirinya akhirnya memberatkan mereka 4. Bertanya untuk melawan dan mendebat Bertanya dengan pertanyaan menjebak atau untuk memancing saja bukan untuk mencari jawaban atau diskusi Ibnul Qayyim menjelaskan menuntut ilmu itu bukan untuk melawan, ﺇﺫﺍ ﺟﻠﺴﺖ ﺇﻟﻰ ﻋﺎﻟﻢ ﻓﺴﻞ ﺗﻔﻘﻬﺎً ﻻ ﺗﻌﻨﺘﺎً “Jika anda duduk bersama seorang alim ahli ilmu maka bertanyalah untuk menuntut ilmu bukan untuk melawan” [3] Inilah yang dimaksud hadits orang yang menuntut ilmu untuk menyombongkan diri di depan ulama dan mendebat orang bodoh [4] Demikian semoga bermanfaat Yogyakarta Tercinta Penyusun Raehanul Bahraen Artikel Catatan kaki [1] Az-Zuhry menjelaskan pentingnya adab dan lemah lembut dalam menuntut ilmu, ﻭﻛﺎﻥ ﻋﺒﻴﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﻠﻄﻔﻪ ﻓﻜﺎﻥ ﻳﻌﺰﻩ ﻋﺰﺍ “Dahulu Ubaidullah yakni bin Abdullah bin Utbah, seorang tabi’in berlemah lembut ketika bertanya kepada Ibnu Abbas, maka beliau memuliakannya dengan memberinya ilmu yang banyak” Ath-Thabaqat Al-Kubra 5/250 [2] Hadits berikut, ﻓَﺈِﻧَّﻤَﺎ ﺃَﻫْﻠَﻚَ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻠِﻜُﻢْ ﻛَﺜْﺮَﺓُ ﻣَﺴَﺎﺋِﻠِﻬِﻢْ ﻭَﺍﺧْﺘِﻼَﻓُﻬُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻧْﺒِﻴَﺎﺋِﻬِﻢْ “Sesungguhnya apa yang membinasakan umat sebelum kalian hanyalah karena mereka banyak bertanya dan menyelisihi Nabi-nabi mereka’.” [HR. Bukhari dan Muslim] [3] Miftah Daris Sa’adah 1/168 [4] Hadits berikut, ﻣﻦ ﻃﻠﺐ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻟﻴﺠﺎﺭﻱ ﺑﻪ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺃﻭ ﻟﻴﻤﺎﺭﻱ ﺑﻪ ﺍﻟﺴﻔﻬﺎﺀ ﺃﻭ ﻳﺼﺮﻑ ﺑﻪ ﻭﺟﻮﻩ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺇﻟﻴﻪ ﺃﺩﺧﻠﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻨﺎﺭ “Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk menyombongkan diri di hadapan para ulama atau untuk berdebat dengan orang-orang bodoh atau untuk menarik perhatian manusia maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka” HR. At-Tirmidzy 5/32 dan dihasankan oleh Syeikh Al-Albany

adab bertanya dan menjawab